Terapi Anti Rabies Untuk Dokter IGD

Author Image
Meducine.id
10 Mei 2020
Dibaca 3603x

Di tengah trend hewan peliharaan (pet) di Indonesia, sering kali Dokter Member Group WA Diskusi Klinis FKTP melaporkan kasus pasien tergigit anjing atau kucing di IGD.

Dalam terminologi penyakit infeksi, rabies tergolong dalam kelompok penyakit Neglected Tropical Disease. Neglected Tropical Disease adalah kelompok penyakit infeksi yang ditemukan pada populasi sosioekonomi rendah pada negara berkembang di Afrika, Asia dan Amerika yang sering terabaikan.

DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA RABIES DI IGD

Rabies adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus rabies. Virus rabies tertular ke manusia lewat air liur hewan yang terinfeksi virus rabies, paling sering akibat gigitan hewan liar.

Patogenesis penyakit rabies terjadi melalui mekanisme infeksi virus rabies yang dapat menyebabkan disfungsi hebat susunan saraf pusat. Transmisi virus rabies melalui saliva yang masuk lewat gigitan atau cakaran hewan yang terinfeksi.

Setelah inokulasi, virus rabies bereplikasi secara lambat pada otot dan kulit, selanjutnya virus masuk ke peripheral motor nerve (Nervus Motorik Perifer). Virus menyebar cepat melalui fast axonal receptors, melewati sinaps dalam 12 jam. Penyebaran cepat terjadi ke otak dan chorda spinalis. Infeksi terkonsentrasi pada batang otak yang menyebabkan disfungsi otonomik dan penurunan fungsi kognitif.

Setelah menginfeksi sistem saraf pusat, virus menyebar secara anterograde ke sistem saraf perifer.

GEJALA KLINIS RABIES

Gejala klinis rabies penting untuk diketahui oleh dokter di Instalasi Gawat Darurat karena pasien sering berakhir dengan kematian. Manifestasi klinis penyakit rabies dapat berupa hidrofobia, emosi yang labil, sesak napas, demam, hipersalivasi, disfagia dan kejang.

Manifestasi klinis pada masa inkubasi bersifat asimptomatik.

Gejala prodormal mulai timbul ketika virus masuk susunan saraf pusat, biasanya pada ganglia spinalis. Gatal atau parestesia pada daerah luka bekas gigitan didapatkan pada 40% pasien.

Gejala lain berupa demam, perubahan perilaku, gejala non-spesifik pada traktus respiratorius bagian atas dan gastrointestinal. Dapat didapatkan juga malaise umum, mual dan rasa nyeri di tenggorok selama beberapa hari.

Pada pasien dapat ditemukan reaksi berlebihan terhadap rangsang sensorik yang dinamakan stimulus sensitive myoclonus. Pada kondisi tersebut tonus otot dan aktivasi simpatik naik dengan gejal hiperhidrosis, hipersalivasi, hiperlakrimasi dan pupil dilatasi.

Pada stadium ini ada gejala khas yaitu sianosis, konvulasi, takikardia sampai mati. Pada saat menjelang kematian, otot pasien menjadi lemas sampai parestesia.

Dalam beberapa minggu, progresivitas penyakit rabies akan memberat dan dapat muncul rabies paralisa. Pada tahap ini, sejawat bisa menemukan tanda-tanda patognomonik dan hidrofobia. Pada kondisi ini terjadi ensefalitis rabies paralisa yaitu malfungsi batang otak sistem limbik dan spasime hidrofobia.

Gejala hidrofobia dapat diperiksa dengan menginduksi refleks kontraksi otot inspirasi melalui provokasi dengan memaksa minum. Bahkan pada beberapa pasien, kondisi tersebut dapat dicapai hanya dengan mendengar kata-kata air atau perikan air, cahaya terang dan suara keras. Kadang-kadang dapat terjadi kejang atau opistotonus yang diikuti cardiac atau respiratory arrest.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM RABIES

Diagnosis Pasti infeksi rabies ditegakkan dengan kultur sel neuroblastoma dalam 2-4 hari, namun teknik ini jarang dilakukan di Indonesia. Pemeriksaan yang lebih mudah dapat dilakukan dengan pemeriksaan antibodi rabies dalam serum darah pasien atau cairan serebrospinal, kecuali pasien sudah mendapat vaksin sebelumnya.

DIAGNOSIS BANDING RABIES

Beberapa penyakit memiliki gejala yang mirip dengan rabies

  1. Tetanus. Dapat dibedakan dengan anamnesis onset gejala (masa inkubasi < 15 hari), kekakuan otot konstan, tanpa relaksasi di antara spasme. Pemeriksaan cairan serebrospinal akan bersifat normal.
  2. Intoksikasi. Dapat dibedakan dengan anamnesis riwayat minum obat atau percobaan bunuh diri sebelumnya.
  3. Rabies Phobia. Adalah ketakutan histeris (biasanya langsung setelah gigitan anjing) dengan perilaku agresif.
  4. Guillan-Barre Syndrome. Sindroma ini mungkin timbul pada paralisa rabies.
  5. Post Vaccination Encephalitis. Adalah respon alergi pada jaringan saraf yang memakai vaksin rabies.
  6. Ensefalitis akibat virus lain.

TATALAKSANA PASIEN TERGIGIT HEWAN RABIES

Secara umum tatalaksana pasien tergigit hewan yang dicurigai rabies adalah dilakukan

1. Pencucian Luka

2. Pemberian Antiseptik

3. Pemberian Vaksin Anti-Rabies (VAR)

4. Pemberian Serum Anti-Rabies (SAR)

Mari kita bahas satu per satu.

1. Pencucian Luka

Perawatan luka adalah hal terpenting yang perlu dokter lakukan untuk mencegah pasien tergigit anjing terinfeksi rabies. Luka harus dibersihkan dengan sabun, dibilas dengan air kurang lebih 15 menit. Penggunaan peralatan tambahan tidak dianjurkan karena dikhawatirkan dapat menyebabkan luka baru yang akan mempermudah virus rabies menginfeksi masuk ke dalam.

Mencuci luka dengan sabun sesegera mungkin adalah tindakan yang sangat penting karena bagian luar virus rabies tersusun dari selubung lipid yang akan dapat terlarut oleh sabun.

Dokter juga bisa menggunakan Benzalkonium Chlorida (baca laporan efektivitas obatnya di sini) atau Centrimonium bromida 1%. Kedua obat di atas sangat berguna karena dapat menginaktivasi virus rabies.

Jika tidak ada, dapat diberikan antiseptik seperti povidone iodine dan alkohol 70% untuk membunuh virus rabies yang masih tersisa di sekitar luka.

Tetanus toksoid dan antibiotika dapat diberikan, untuk mencegah tetanus.

  • Jika belum divaksinasi tetanus, beri ATS dan TT. Pemberian ATS efektif bila diberikan sebelum 24 jam luka
  • Jika telah mendapatkan vaksinasi tetanus, beri ulangan TT jika sudah waktunya.

Antibiotik yang dapat diberikan untuk mencegah tetanus (antibiotik profilaksis) adalah golongan antibiotik broad spectrum, misalnya: ceftriaxone, cefotaxim, dsb.

2. Pemberian Vaksin Anti-Rabies (VAR) dan Serum Anti-Rabies (SAR)

Tidak semua pasien tergigit hewan liar membutuhkan VAR dan SAR. Keputusan pemberian VAR dan SAR harus mempertimbangkan

  1. Kondisi Hewan saat Pajanan Terjadi
  2. Hasil Observasi Hewan
  3. Hasil Pemeriksaan Laboratorium Spesimen Otak Hewan
  4. Kondisi Luka yang Ditimbulkan

Untuk mempermudah, dokter bisa memperhatikan diagram di bawah ini

Dari diagam di atas, dapat disimpulkan bahwa pada pasien yang tergigit hewan yang bisa ditangkap (misal Hewan Peliharaan) dengan luka risiko rendah, VAR dapat ditunda. Selanjutnya, hewan tersebut diobservasi selama 10-14 hari. Bila di akhir masa observasi hewan sehat, maka VAR tidak perlu diberikan. Namun, jika hewan ternyata mati dalam masa observasi, maka VAR harus segera diberikan.

Sedangkan, pada pasien post-tergigit hewan yang tidak dapat ditangkap/mati/dibunuh, maka VAR sebaiknya segera diberikan. Pada pasien dengan luka risiko tinggi, maka selain diberikan VAR, sebaiknya SAR juga diberikan untuk memberikan imunitas pasif segera.

Dari diagram algoritma di atas, kita dapat memahami bahwa penting bagi dokter di IGD untuk menguasai teknik assesmen risiko luka, apakah tergolong dalam luka risiko tinggi atau luka risiko rendah.

Secara sederhana, dokter dapat menggunakan pedoman di bawah ini.

  1. Luka Risiko Tinggi adalah jilatan/luka pada mukosa, luka di atas daerah bahu, leher/muka/kepala, luka pada jari tangan dan jari kaki, luka di area genitalia, luka yang lebar atau dalam, atau luka multiple/multiple wound
  2. Luka Risiko Rendah adalah jilatan pada kulit tebuka atau cakaran atau gigitan yang menimbulkan luka lecet (ekskoriasi) di area badan, tangan dan kaki.

Dosis dan Teknik Pemberian VAR dan SAR

Pemberian VAR dan SAR pada pasien post tergigit hewan liar disebut juga Post Exposure Prophylaxis (PEP).

Vaksin Anti-Rabies dapat diberikan dalam dua sediaan, pilih salah satu

  1. Purified Vero Rabies Vaccine (PVRV) => merk dagang Verorab
  2. Purified Chick Embryo Cell Culture Rabies Vaccine (PCECV) => merk dagang Rabipur

VAR diberikan secara intramuskular (IM), sebanyak 1 mL

Pada pasien yang belum divaksin, VAR diberikan 5 kali yaitu hari ke 0, 3, 7, 14 dan 28. SAR atau RIG (human Rabies Imunoglobulin) diberikan satu kali pada hari ke 0. Dosis RIG diberikan 20 IU/kgBB. RIG diberikan dengan cara suntikan infiltrasi di sekitar luka sebanyak mungkin, sisanya disuntikan secara IM pada lokasi lain yang jauh dari luka.

Pada pasien yang sudah divaksin, VAR diberikan 2 kali, yaitu hari ke 0 dan 3. Sedangkan RIG tidak perlu diberikan.

Rabies adalah penyakit dengan prognosis yang buruk. Jika dokter mendapatkan kasus rabies dan berhasil menegakkan diagnosisnya, edukasi pada pasien dan keluarga sangat penting. Hampir semua pasien meninggal, hanya 10 pasien yang berhasil sembuh (sejak 1875). Pasien yang dapat bertahan hidup akan mengalami sequele yang berat.

Daftar Pustaka

1. Alam A, dkk. 2020. Updated on Pediatrics Infectious and Tropical Disease. Surabaya: IDAI Jatim

2. Alwi I, dkk. 2016. Panduan Praktis Klinis Penatlaksanaan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing

3. Kemenkes RI. 2016. Buku Saku Petunjuk Teknis Penatalaksanaan Kasus Gigitan Hewan Penular Rabies di Indonesia. Jakarta: Kemenkes

Panduan

Customer Service

Admin Meducine/Dokter Post
ALI
Online